Tugas Biografi

print this page
send email
Selamat siang, masih semangat menjalani hari-hari yang indah dan menyedihkan kan? Selalu semangat setiap saat yaa! Dan semangat membaca juga!
Pada hari sabtu, 21 februari 2015 saya diberi tugas oleh Bu. Nanik Zulaikhah membuat biografi, biografi pada umumnya biasanya kan tentang tokoh-tokoh terkenal, tokoh-tokoh negara yang berjasa maupun tokoh yang memiliki banyak prestasi yang wow wow kan, karena pada biografi (setahu saya) endingnya itu supaya pembaca bisa termotivasi gitu. Tetapi kali ini bukan tentang tokoh negara yang terkenal, yang berjasa dan bukan tentang tokoh yang memiliki segudang prestasi itu. Ini lebih dari sekedar itu, Hehe.. tokoh biografi kali ini adalah "IBU". Dari pada bingung baca aja deh tugas saya ini, tentang biografi ibu saya. Saya membuatnya cuma dua hari jadi cuma sedikit. Maklum kelas XII, dikejar deadline. Terima kasih telah membaca :)

Biografi Ibu Tarliyah - Wanita Sederhana yang Sempurna
            Ibu adalah wanita sederhana yang sempurna. Ibu adalah pahlawan, benar-benar seorang pahlawan karena ia rela berjuang dan berkorban demi orang yang dicintainya yaitu keluarga dan anaknya. Meski lemah, lelah dan letih pasti menimpa dirinya, tetapi keluhan tak banyak ia ucapkan, semangat tak sedikit ia tunjukkan, karena Ibu adalah seorang wanita yang tidak pernah  mengeluh dan tidak pernah patah semangat. Seperti halnya ibunda yang cantik yang bernama Tarliyah ini, ia lahir pada 20 Agustus 1966. Beliau dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Alipah dan memiliki seorang bapak yang bernama Wiryo. Ibu Tarliyah adalah anak ke-tiga dari tujuh bersaudara dan tinggal di Ds. Claket, Kec. Pacet, Kab. Mojokerto.
            Ketika Sekolah Dasar (SD), ia sekolah di Madrasah Iftida’iyah yang berada di Ds. Claket yang berjarak satu kilometer dari rumahnya. Dan SMPnya di Mts Negeri pacet yang berada di Ds. Pacet yang berjarak kira-kira empat kilometer dari rumahnya. Dulu, jarang sekali yang memiliki kendaraan bermotor, begitu juga dengan ibu Tarliyah dan keluarganya. Mereka tidak memiliki kendaraan bermotor dan jika mau pergi kemana-mana mereka harus mengayuh sepeda, terkadang naik ojek. Tetapi, ibu Tarliyah tidak bisa naik sepeda sehingga ia harus berjalan kaki jika pergi ke sekolah. Bayangkan saja jika harus berjalan kaki sejauh empat kilometer hanya demi menuntut ilmu, hanya demi memperoleh pendidikan. Namun ia tidak sendiri, ia berangkat dan pulang bersama teman-teman dan saudara-saudaranya. Itulah yang membuatnya tetap semangat berangkat ke sekolah meskipun harus menempuh jarak yang jauh. Namun, pendidikan terakhirnya hanya sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) karena terbatasnya biaya. Wajar saja, ibu Tarliyah terlahir dari keluarga yang sederhana. Orang tuanya bekerja di sawah dan sebagai pedagang sayur.  Sedangkan ia memiliki saudara yang banyak, tentunya butuh biaya yang banyak pula untuk bisa menyekolahkan tujuh anak dengan jarak umur yang tidak jauh itu. Akhirnya, terpaksa ia  tidak melanjutkan sekolah dan terkadang ia ikut membantu ibunya berjualan.
            Ketika ibu Tarliyah berusia 17 tahun, ia mengikuti kursus menjahit di Ds. Trawas yang berjarak lima kilometer dari rumahnya. Ia pergi ke Trawas naik ojek dan di sana ia tinggal bersama saudara ibunya, pakde Tajib ia memanggilnya. Pakde Tajib mengajari ibu Tarliyah untuk lebih disiplin, ia diharuskan bangun pagi-pagi buta dan disuruh memasak. Namun, ia tidak keberatan karena ia sadar jika di situ ia cuma numpang. Ia berangkat ke tempat kursus siang hari dan pulangnya sore hari sekitar pukul 17.00 WIB. Ia kursus menjahit dan tetap tinggal bersama pakde Tajib itu selama satu tahun. Setelah itu ia bekerja membantu kakaknya menjahit.
            Ketika ibu Tarliyah telah berusia 23 tahun, ia menikah dengan pria yang bernama Kusnadi. Ia menikah pada 21 Mei 1990 dan mereka tetap tinggal di Ds. Claket. Satu tahun kemudian, pada tanggal 11 September 1991 tepatnya pukul 20.00 WIB. Saat itu, ia sedang berjuang, benar-benar berjuang melawan maut, berjuang dan siap memberi kebahagiaan baru kepada keluarganya. Ya, saat itu ibu Tarliyah sedang melahirkan, ia melahirkan di bidan Bu. Sunanti di Ds. Pugeran. Jauh sekali memang dari Claket ke Pugeran, itu dilakukan atas permintaan ibunya, “karena di situ terkenal bidan yang penangannya jauh lebih baik dari yang lain.”(katanya). Ia melahirkan putra pertamanya, seorang anak laki-laki yang diberi nama “Budi Harianto”. Budi adalah anugerah pertamanya, kebahagiaan pertamanya dan perjuangan pertamanya melawan maut.
            Pada akhir bulan desember 1991 ibu Tarliyah dan keluarga kecilnya mengontrak rumah di Ds. Bakalan, Kec. Gondang, Kab. Mojokerto. Saat itu usia Budi masih tiga bulan dan ibu merawatnya sendiri ketika ditinggal suaminya bekerja. Ia merawat Budi sambil melakukan pekerjaan rumah seperti ibu rumah tangga biasanya. Memasak, membersihkan rumah, mencuci baju dan lain-lain. Ia biasanya mandi dan mencuci baju di sungai. Tidak heran memang, dulu air sungai sangat bersih, ikan-ikan kecil  di bawah jernihnya air sungai masih terlihat jelas tanpa ada sampah yang mengotori pandangan. Namun ketika Budi berusia tiga tahun, mereka pindah rumah lagi dikarenakan ada peristiwa pembunuhan di sungai biasanya tempat ibu Tarliyah mencuci baju dan mandi. Karena ia merasa takut, akhirnya suaminya pun mengajaknya tinggal di Dsn. Rejoso, Ds. Gondang, Kec. Gondang. Di situ ibu Tarliyah mulai membuka usaha sendiri di rumah dengan modal hanya memiliki satu mesin jahit, pintu rumahnya mulai terbuka lebar bagi yang ingin menjahitkan baju. Terkadang sebelum hari raya Idul Fitri atau musimnya anak-anak masuk sekolah, ia harus bangun pagi sekali terkadang tengah malam untuk menjahit karena memang sangat banyak pesanan di hari-hari seperti itu. Tetapi, ia tidak sakit meskipun sering bekerja tengah malam hingga larut malam lagi. Ia tidak mengeluh meskipun bukan hanya pekerjaan menjahitnya yang harus ia selesaikan.
            Hari demi hari telah berlalu, pada 1 Maret 1997 ibu Tarliyah melahirkan anak keduanya tepatnya pukul 00.00 WIB. Ia melahirkan di rumah dan ditolong oleh Bidan, namanya Bu. Hartini beliau orang pacet. Ia melahirkan seorang anak perempuan, tangisan pertamanya membangunkan tetangga-tetangga yang sedang hidup di alam mimpi, tangisan pertamanya meredam detak jantung yang tadinya berdegup tidak karuan dan tentunya tangisan pertamanya merekahkan senyum siapapun yang berada di situ yang sedang menunggu tangisan itu.  Dan ia memberi nama anak perempuannya “Putri Dwi Retno Sari”.
            Hingga kini ibu Tarliyah dan keluarga kecilnya masih tinggal di Dsn. Rejoso, Ds. Gondang, Kec. Gondang. Pada 27 November 2013 di rumahnya baru di buka sebuah toko kecil, ini hanya untuk menambah pemasukan karena suaminya baru saja pensiun dari Pegawai Negeri Sipil. Tentunya pekerjaan
ibu Tarliyah semakin bertambah, sepertinya ia memiliki banyak profesi saat ini. Ia berprofesi sebagai ibu rumah tangga, sebagai penjahit dan sebagai pedagang. Tidak terbayangkan lagi betapa capeknya, letihnya menjadi seorang ibu. Ia rela mengorbankan waktu istirahatnya demi keluarga, ia rela menghiraukan rasa letihnya demi keluarga, ia rela menghabiskan waktunya dengan bekerja demi keluarga. Ibu pasti ingin anak-anaknya jauh lebih baik darinya, ibu pasti ingin anak-anaknya jauh lebih terjamin kehidupan dan kebahagiaanya. Itulah mengapa Ibu bekerja tanpa lelah dan berdoa tanpa henti. Ibu Tarliyah wanita yang sederhana memang, ia hidup dari keluarga sederhana dan dengan keluarga sederhana, namun cinta kasih ibu tulus tanpa putus, peluk kasih ibu hangat dan menghangatkan. 


By : Putri Dwi