Bercerita Kepada Malam

print this page
send email
Kali ini, aku lebih memilih bercerita dengan malam. Malam tanpa bintang atau apapun yang mengangumkan. Aku memilih bercerita dengan malam. Malam tanpa suara yang menikam atau apapun yang mengerikan. Aku memilih bercerita dengan malam. Malam tanpa hembusan lembut angin atau apapun yang menyejukkan. Kali ini, aku hanya ingin bercerita kepada malam. Hanya kepada malam. Tanpa siapapun dan apapun.

Hai malam,
Entah mengapa aku merasa lelah, lelah selelah-lelahnya. Aku tak sedang mendaki tingginya gunung, pun aku tak sedang memanjat tingginya tebing. Aku tak sedang menyusuri sungai. Aku tak sedang mengarungi luasnya samudera. Aku tak sedang menyelam dalamnya lautan. Tetapi mengapa aku merasa lelah?!

Hai malam,
Aku merasa sebagian dari dalam diriku tersayat, oleh pisau berkarat. Tetapi tidak, aku tak pernah tersayat pisau berkarat dan aku tak tahu sesakit apa rasanya. Aku merasa sebagian dari dalam diriku tertusuk dalam, oleh pedang panjang. Tetapi tidak, aku tak pernah tertusuk pedang dan aku tak tahu sesakit apa rasanya. Aku merasa sebagian dari dalam diriku terhantam keras, oleh benda keras. Tetapi tidak, aku tak pernah terhantam benda keras dan aku tak tahu sesakit apa rasanya. Lalu bagaimana bisa aku merasakan sakit seperti tersayat, tertusuk bahkan terhantam namun pada kenyataanya aku tak pernah disayat, ditusuk bahkan dihantam?!

Hai malam,
Aku tahu, kau menyaksikan kebahagiaanku setiap malam. Kau menyaksikan kebahagiaanku bersama kekasihku. Meski kita berada di tempat dan ruang yang berbeda, namun aku tahu bahwa kau menyaksikan kebahagiaanku. Melalui telepon, kau menyaksikanku bahwa selalu ada tawa di sela-sela kami sedang berbincang. Kau menyaksikan kami bercerita dan bercanda. Melalui sms, kau menyaksikanku bahwa selalu ada senyum indah di balik bibirku di sela-sela pesan singkat yang ia kirim. Kau menyaksikan kebahagiaan kami. Kau menyaksikan kami berbincang, bercerita dan bercanda. Dan kau menyaksikan kami berbicara tentang cinta dan rindu. Yaa.. tentang cinta dan rindu, setiap malam. “Aku mencintaimu, aku merindukanmu. Aku juga mencintaimu, aku juga merindukanmu.” Yaa.. itu kalimat yang sering kami ucap. Kau menyaksikan kebahagiaanku setiap malam bahkan setiap hari. Seolah Tuhan telah menaburkan sejuta bintang dengan sinarnya yang tak kunjung redup, seolah bunga-bunga bermekaran setiap hari dan seolah selalu ada pelangi yang datang di pagi hari.

Hai malam,
Tetapi, minggu lalu.. kekasihku mengatakan sesuatu yang membuatku sakit. Yang menyesakkan ku. Sesak sekali. Bukan, bukan berkata ingin meninggalkanku, akan meninggalkanku, berencana meninggalkanku atau apapun itu. Aku berkata bahwa aku mencintainya. Dan ia diam. Lalu aku berkata kembali bahwa aku mencintainya. Dan ia memilih tetap diam. Lalu aku berkata sekali lagi bahwa aku mencintainya. Dan ia menjawab “aku juga mencintaimu, tetapi aku juga mencintainya”. Dan dengan sekejab. Dengan sekejab seolah perkataannya membangunkanku dari mimpiku. Mimpi indahku. Dengan sekejab seolah perkataanya menyadarkanku. Menyadarkanku bahwa.. aku bukan siapa-siapa. Yaa.. Aku bukan siapa-siapa.

Hai malam,
Lalu kau menyaksikanku. Disudut tempat tidur, aku manangis, mendekap kedua lutut ku. Aku berteriak, menangis, tetapi tidak ada yang mendengarku. Tidak ada yang mendengar teriakan dan tangisanku. Aku sendiri bersamamu, malam. Hanya kau yang menyaksikanku.

Mungkin.. itulah mengapa aku merasa lelah dan sakit. Layaknya mendaki, tersayat dan semuanya. Karena ternyata.. Ternyata aku bukan siapa-siapa. Ternyata ia bukan kekasihku. Ternyata aku bukan kekasihnya. Ternyata aku hanya sebatas perempuan yang bisa mencintai namun belum bisa memilikinya. Ternyata ia hanya sebatas laki-laki yang bisa mencintaiku namun masih memilikinya.

Tetapi hai malam,
Sampaikan padanya bahwa aku tak apa. Aku baik-baik saja dan akan tetap baik-baik saja. Sampaikan padanya bahwa aku hanya takut. Aku hanya takut menyaksikan malam yang gelap karena sejuta sinar bintang yang kian meredup. Aku hanya takut menyaksikan warna pelangi yang perlahan kian memudar. Aku hanya takut menyaksikan kelopak bunga-bunga yang bermekaran indah itu perlahan berguguran. Tolong sampikanlah bahwa aku sungguh takut. Dan sungguh sampaikan padaku seandainya ia berkata bahwa “rasa takutmu hanya ‘sugesti’ karena aku takkan membuatmu menyaksikan segala yang indah itu perlahan menghilang”.

By : Putri Dwi