Kali ini, aku lebih memilih bercerita dengan malam. Malam
tanpa bintang atau apapun yang mengangumkan. Aku memilih bercerita dengan malam.
Malam tanpa suara yang menikam atau apapun yang mengerikan. Aku memilih
bercerita dengan malam. Malam tanpa hembusan lembut angin atau apapun yang
menyejukkan. Kali ini, aku hanya ingin bercerita kepada malam. Hanya kepada malam.
Tanpa siapapun dan apapun.
Hai malam,
Entah
mengapa aku merasa lelah, lelah selelah-lelahnya. Aku tak sedang mendaki
tingginya gunung, pun aku tak sedang memanjat tingginya tebing. Aku tak sedang
menyusuri sungai. Aku tak sedang mengarungi luasnya samudera. Aku tak sedang
menyelam dalamnya lautan. Tetapi mengapa aku merasa lelah?!
Hai malam,
Aku merasa sebagian dari dalam diriku tersayat, oleh pisau
berkarat. Tetapi tidak, aku tak pernah tersayat pisau berkarat dan aku tak tahu
sesakit apa rasanya. Aku merasa sebagian dari dalam diriku tertusuk dalam, oleh
pedang panjang. Tetapi tidak, aku tak pernah tertusuk pedang dan aku tak tahu
sesakit apa rasanya. Aku merasa sebagian dari dalam diriku terhantam keras,
oleh benda keras. Tetapi tidak, aku tak pernah terhantam benda keras dan aku
tak tahu sesakit apa rasanya. Lalu bagaimana bisa aku merasakan sakit seperti
tersayat, tertusuk bahkan terhantam namun pada kenyataanya aku tak pernah
disayat, ditusuk bahkan dihantam?!
Hai malam,
Aku tahu,
kau menyaksikan kebahagiaanku setiap malam. Kau menyaksikan kebahagiaanku
bersama kekasihku. Meski kita berada di tempat dan ruang yang berbeda, namun aku
tahu bahwa kau menyaksikan kebahagiaanku. Melalui telepon, kau menyaksikanku bahwa selalu ada tawa di sela-sela kami sedang
berbincang. Kau menyaksikan kami bercerita dan bercanda. Melalui sms, kau menyaksikanku bahwa selalu ada
senyum indah di balik bibirku di sela-sela pesan singkat yang ia kirim. Kau menyaksikan
kebahagiaan kami. Kau menyaksikan kami berbincang, bercerita dan bercanda. Dan kau
menyaksikan kami berbicara tentang cinta dan rindu. Yaa.. tentang cinta dan
rindu, setiap malam. “Aku mencintaimu, aku merindukanmu. Aku juga mencintaimu,
aku juga merindukanmu.” Yaa.. itu kalimat yang sering kami ucap. Kau menyaksikan
kebahagiaanku setiap malam bahkan setiap hari. Seolah Tuhan telah menaburkan
sejuta bintang dengan sinarnya yang tak kunjung redup, seolah bunga-bunga
bermekaran setiap hari dan seolah selalu ada pelangi yang datang di pagi hari.
Hai malam,
Tetapi,
minggu lalu.. kekasihku mengatakan sesuatu yang membuatku sakit. Yang menyesakkan
ku. Sesak sekali. Bukan, bukan berkata ingin meninggalkanku, akan
meninggalkanku, berencana meninggalkanku atau apapun itu. Aku berkata bahwa aku
mencintainya. Dan ia diam. Lalu aku berkata kembali bahwa aku mencintainya. Dan
ia memilih tetap diam. Lalu aku berkata sekali lagi bahwa aku mencintainya. Dan
ia menjawab “aku juga mencintaimu, tetapi aku juga mencintainya”. Dan dengan
sekejab. Dengan sekejab seolah perkataannya membangunkanku dari mimpiku. Mimpi indahku.
Dengan sekejab seolah perkataanya menyadarkanku. Menyadarkanku bahwa.. aku
bukan siapa-siapa. Yaa.. Aku bukan siapa-siapa.
Hai malam,
Lalu kau
menyaksikanku. Disudut tempat tidur, aku manangis, mendekap kedua lutut ku. Aku
berteriak, menangis, tetapi tidak ada yang mendengarku. Tidak ada yang
mendengar teriakan dan tangisanku. Aku sendiri bersamamu, malam. Hanya kau yang
menyaksikanku.
Mungkin..
itulah mengapa aku merasa lelah dan sakit. Layaknya mendaki, tersayat dan
semuanya. Karena ternyata.. Ternyata aku bukan siapa-siapa. Ternyata ia bukan
kekasihku. Ternyata aku bukan kekasihnya. Ternyata aku hanya sebatas perempuan
yang bisa mencintai namun belum bisa memilikinya. Ternyata ia hanya sebatas
laki-laki yang bisa mencintaiku namun masih memilikinya.
Tetapi hai
malam,
Sampaikan padanya
bahwa aku tak apa. Aku baik-baik saja dan akan tetap baik-baik saja. Sampaikan
padanya bahwa aku hanya takut. Aku hanya takut menyaksikan malam yang gelap
karena sejuta sinar bintang yang kian meredup. Aku hanya takut menyaksikan
warna pelangi yang perlahan kian memudar. Aku hanya takut menyaksikan kelopak bunga-bunga
yang bermekaran indah itu perlahan berguguran. Tolong sampikanlah bahwa aku sungguh
takut. Dan sungguh sampaikan padaku seandainya ia berkata bahwa “rasa takutmu
hanya ‘sugesti’ karena aku takkan membuatmu menyaksikan segala yang indah itu
perlahan menghilang”.
By : Putri Dwi